Tuesday, July 17, 2012 in

What to Choose? First or Better?!


Persaingan dalam pasar saat ini begitu hectic and crowded, hingga membuat banyak orang menjadi bingung akan produk yang beredar. Hal ini ditambah lagi dengan pesatnya perkembangan internet, dimana setiap orang bisa mengaktualisasikan diri dengan komentar dan perkataannya masing-masing. Begitu banyaknya informasi menyebabkan fenomena Overwhelming Information saat ini.

Situs riset Magnify.net dari amerika melakukan riset terkait fenomena Overwhelming Information tersebut, dimana 64,2% responden menyatakan bahwa mereka menerima 50% informasi lebih banyak dari tahun lalu! Bahkan 73% mengibaratkan kondisi ini dalam kata “roaring river" atau "massive tidal wave." Well, if you are using a BlackBerry device, how much broadcast message that you got every day? It’s begin to annoying recently, eh?

Fenomena ini tentu saja menjadi trend negatif bagi seluruh kegiatan pemasaran. Marketing memiliki kaitan yang erat dengan informasi, dimana penyampaian informasi yang tepat akan menghasilkan respon yang diharapkan dari masyarakat. Hal ini sejalan dengan kalimat Al Rise dan jack Trout, marketing is not a battle of products, it’s a battle of perceptions.” Masalahnya, dalam fenomena Overwhelming Information ini, perusahaan semakin sulit membuat informasi mereka “terlihat” di mata dan pikiran para calon konsumen mereka.

So? Apa yang bisa dilakukan? Penyebaran informasi menjadi suatu kegiatan yang tidak terelakkan lagi dalam proses marketing. Hampir tidak mungkin rasanya menjualn sesuatu tanpa diimbangi dengan informasi yang memadai akan produk tersebut. But how make all of those informations become visible? Al Ries dan Jack Trout dalam buku The 22 Immutable Laws of Marketing menceritakan tentang hukum-hukum yang tidak dapat diabaikan dalam proses marketing. Dalam kaitannya dengan fenomena Overwhelming Information ini 3 hukum pertama menjadi kunci persaingan, yaitu:
  • The Law of Leadership: It is better to be first than be better
  • The Law of the Category: If you can’t be the first in a category, set up a new category that you can be first in
  • The Law of the Mind: It’s better to be first in the mind than to be first in the marketplace

Hukum pertama, konsumen cenderung mengingat pelopor dari sesuatu,  mau contoh? UI, ITB, dan UGM sebagai univeritas yang ‘katanya’ terbaik di Indonesia adalah universitas yang pertama kali didirikan di Indonesia. Aqua? The first ‘ridiculous’ bottled water in Indonesia, masih berdiri kokoh di tengah kepungan para pesaingnya saat ini. Asosiasi aqua terhadap produk air minum begitu kuatnya hingga seringkali konsumen mengganti kata air mineral dengan aqua.

Hukum kedua, jika Anda bukan yang pertama, buatlah diri Anda menjadi yang pertama, BINUS University misalnya, sejak cikal bakal pada tahun 1974, menjadi kampus swasta yang memiliki asosiasi kuat dengan komputer, bahkan sampai saat ini mereka belum bisa melepaskan stigma universitas komputer dari benak masyarakat. Contoh lain, jaringan selular bukan hal yang baru di Indonesia, begitu banyak penyedia layanan GSM yang ada, namun Esia menciptakan kategori baru dimana mereka menjadi provider pertama bagi jaringan CDMA di Indonesia, hasilnya? Sampai saat ini, Esia masih merajai pasar CDMA Indonesia.

Hukum yang ketiga menjadi hukum yang paling menarik, sekaligus menjadi kontradiksi bagi kedua hukum pertama. Contoh terbaik untuk hukum ini adalah Sarimi, meskipun menjadi brand mie instant pertama di Indonesia, Sarimi tidak berkembang layaknya pesaingnya. Well, untuk mie instant, jelas donk, siapa pemenangnya? Indomie yang katanya seleraku bahkan sudah menjamah pasar internasional di beberapa negara di dunia.  

Last but not least, dari beberapa contoh diatas, diharapkan para marketeers mendapatkan digest yang baik bagi lini produk atau jasa yang diasuhnya. (CBA)

Well, What to Choose? First or Better?!

Leave a Reply