Monday, October 21, 2013 in

Messed up with DATA in DECISION MAKING



Berapa banyak diantara kita yang sudah mulai fed up with data? Pada awalnya data itu ada untuk membantu kita membuat keputusan yang sulit. Dengan adanya data, kita bisa mereka-reka apa yang akan menjadi dampak dari keputusan yang kita buat, merencanakan alternatif katanya.

Masalahnya, jika alternatif itu terlalu banyak, maka keputusan itu semakin sulit dibuat. Fenomena Big Data yang saat ini sudah terjadi dimana-mana membuat semakin banyak alternatif muncul, dan yang semakin memperparah keadaan adalah terkadang perusahaan tidak yakin bahwa data yang dimilikinya itu benar. (You got bummed, man!)

Kita perlu melihat ulang, kenapa kita membutuhkan data tersebut untuk mengambil sebuah keputusan? Secara psikis, Simon Sinek dalam bukunya START WITH WHY, mengatakan bahwa perilaku kita dipengaruhi oleh asumsi-asumsi yang kita buat (perceived truths). Asumsi-asumsi ini akan terbentuk dari segala jenis data yang kita terima, contohnya ketika akan membeli sebuah gadget, kita pasti akan wara-wiri di internet cari tau, berapa kapasitas baterainya, jumlah pixel per inch (ppi) dari layarnya, OSnya, kameranya, dsb. dari "data-data" tersebut kita akan mulai berasumsi (atau sebagian rekan kita mengatakan "berpersepsi") bahwa gadget tersebut bagus dan kudu dibeli (tentunya dengan perbandingan kiri-kanan).

Dalam buku yang sama, Colin Powell berkata "I can make a decision with 30 percent of the information. Anything more than 80 percent is too much." Data yang terlalu banyak akhirnya memiliki tendensi untuk membingungkan. Perlu diketahui bahwa terkadang keputusan yang didasarkan dari feeling kita bahkan lebih tepat dari keputusan yang berasal dari data yang bertumpuk-tumpuk. Apakah Anda pernah mengalami ketika teman Anda / Anda sendiri melakukan sesuatu hal, lalu berpikir "kok, kayaknya ini gak pas deh.." atau "rasanya gak sreg ah!". Hal itulah yang terjadi ketika keputusan yang dibuat tidak sejalan dengan perasaan kita.

Bukan berarti dengan ini kita membuang seluruh data kita dan mulai mengambil semua keputusan berdasarkan hati kita. Menurut saya, keputusan yang baik adalah keputusan yang berdasarkan rasionalisasi data yang baik (dan benar) namun tidak bertentangan dengan perasaan kita. Maksud saya, tidak enak kan mengambil keputusan yang kita pertanyakan sendiri di dalam hati? Namun data yang tepat akan membantu hati kita menjadi yakin dengan apa yang kita putuskan.

Perlu adanya wawasan dan pengalaman yang cukup untuk dapat memilah data-data yang penting diantara kumpulan data yang berlimpah. Tidak semua data yang disajikan perlu kita telaah, dan basis yang paling mudah untuk menentukan mana data yang perlu kita lihat dan tidak adalah berkunjung ke lapangan dan melihat keadaan yang sebenarnya. Jika Anda merupakan seorang marketer, tempatkanlah diri dalam posisi pelanggan, dan mulai berpikir apakah data tersebut dapat membuat Anda mengambil keputusan yang lebih baik bagi pelanggan?

Selain itu, carilah 2-3 orang kepercayaan Anda untuk bertukar pikiran. Diskusi dalam grup kecil dapat membantu Anda untuk mempertajam analisa Anda terhadap data yang dimiliki, karena kasus yang sering terjadi pada orang-orang yang banyak melihat data adalah kesalahan intrepretasi data. Tidak selamanya peningkatan angka revenue merupakan tanda yang baik dan penurunan angka revenue merupakan hal yang buruk. Banyak aspek lain yang harus diperhatikan, misalnya margin revenue, return on investment, dsb. Adanya beberapa asisten kepercayaan Anda bisa membantu Anda untuk melihat hal-hal yang mungkin terlewat atau tidak terlihat oleh Anda.

Well, bagaimanapun kompleksnya pengambilan sebuah keputusan, its always better to make a wrong decision than not making any decision at all. Happy decide! (CBA)

Leave a Reply